[Ruang Kajian]
NELAYAN INDONESIA : KINI dan NANTI
Di Indonesia nelayan merupakan salah satu mata pencaharian yang mempunyai kontribusi besar kaitannya dalam mata rantai rangkaian ekonomi masyarakat banyak. Sebagai penghargaan atas jasa nelayan, Pemerintah menetapkan tanggal 6 April sebagai Hari Nelayan Nasional.
Melihat Indonesia merupakan negara dengan kepulauan terbesar di dunia, tidak dipungkiri bahwa Indonesia juga begitu kaya akan potensi lautnya. Jumlah nelayan di Indonesia sangat banyak dan menjadi mata pencaharian yang sudah tidak asing lagi.
Negara Indonesia terdaftar sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, yaitu mencapai 54.716 km. Hal inilah yang kemudian dicatat sejarah bahwa Indonesia menjadi negara dengan akar maritim yang kuat.
Tetapi, kesejahteraan nelayan masih terus dipertanyakan. Garis kemiskinan nelayan belum sepenuhnya terangkat di Indonesia. Bahkan jika kita menilik data aktual dari Kementeriaan Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa telah terjadi pertumbuhan negatif jumlah nelayan tangkap pada periode 2004-2008, sehingga kini hanya menyisakan kurang dari 2,8 juta saja. Bila dikalkulasi lebih jauh berdasarkan data pada rentang waktu tersebut maka akan didapat hasil statistik bahwa rata-rata setiap tahun Indonesia kehilangan 31.000 nelayan atau rata-rata 116 nelayan setiap hari.
Kebijakan pemerintah mengenai kelautan dan perikanan banyak menuai pro dan kontra. Pada 3 November 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Permen Nomor 56/Permen-KP/2014 tentang Penghentian Sementara Perizinan Usaha Perikanan Tangkap yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya Permen Nomor 56/Permen-KP/2014 tentang Alih Muatan. Permen tersebut menurut Ketua Asosiasi Perikanan Nasional Sulawesi Utara, Rudi Waluko sangat merugikan para nelayan lokal, karena kebijakan tersebut terkait dengan larangan alih muatan (transshipment) di tengah laut dari kapal tangkap ke kapal muatan. Dampak lain dari diterapkannya kebijakan tersebut adalah meningkatnya angka pengangguran nelayan karena banyak pengusaha nasional yang memilih untuk melakukan PHK terhadap para pekerjanya, dalam hal ini adalah nelayan. Selain itu, tidak sedikit nelayan yang bekerja pada kapal-kapal asing, dengan diterapkannya kebijakan moratorium, tidak sedikit pula kapal-kapal asing yang tidak beroperasi dan terpaksa membuat nelayan yang bekerja di sana, walaupun hanya sementara harus berhenti. Demikian halnya dengan kebijakan larangan alih muatan (transshipment) yang terpaksa membuat nelayan tidak mengoperasikan kapalnya.
Kemudian disusul Permen Nomor 02/Permen-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik. Peraturan Menteri ini menimbulkan kapal alat tangkap cantrang tidak boleh beroperasi, hal ini menyebabkan akan menimbulkan pengangguran bagi anak buah kapal. Sebagai contoh, jika setiap satu kapal cantrang terdiri dari 15 anak buah kapal, dan jumlah kapal cantrang di Kabupaten Pati adalah lebih dari 200 buah, kalau kapal ini dilarang untuk melaut itu artinya ada 3000 orang yang kehilangan pekerjaan. Alhasil, mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Alih-alih soal perlindungan ekosistem laut, malahan mengurangi hasil dari penangkapan nelayan, bahkan membuat nelayan menganggur.
Selanjutnya, PP Nomor 75 tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara bukan Pajak. Peraturan ini menyangkut pengurusan perpanjangan izin SIUP(Surat Izin Usaha Perdagangan), SIPI(Surat Izin Penangkapan Ikan) dan SIKPI(Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan) kapal perikanan di atas 30 GT (Gross Tonage / Tonase Kotor) atau boleh dikatakan daya tampung/volume dari sebuah kapal. Dikeluarkannya kebijakan tersebut sangat menyulitkan pengusaha kapal sehingga mengakibatkan ribuan kapal tidak melaut dan berdampak pada terancamnya hampir dua juta nelayan menjadi penganggur. Kebijakan tersebut juga berisikan larangan kapal yang berukuran di atas 30 GT untuk menggunakan solar bersubsidi. Padahal ketika cuaca buruk, hanya kapal di atas 30 GT yang dapat melaut dan banyak nelayan yang menggunakan solar bersubsudi. Kalau hal tersebut dilarang, maka banyak nelayan yang harus mengeluarkan biaya operasi kapal yang besar. Alih-alih perbaikan dan penetiban birokrasi, sekali lagi malah mempersulit gerak nelayan, merugikan nelayan, dan membuat nelayan menganggur.
Dari sini dapat dilihat bahwa terkandung semangat untuk mengembalikan Indonesia sebagai Negara Maritim yang berjaya, akan tetapi melupakan unsur terpenting dalam menentukan kebijakan, yaitu rakyatnya. Oleh karenanya, dibutuhkan dialog antara pemerintah dan rakyatnya agar menghasilkan sebuah kebijakan yang sama rata, sama rasa dan berkeadilan. Karena pada dasarnya yang tertulis jelas dalam konstitusi kita, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selamat Hari Nelayan Nasional!
#Penalaran
#Kreativitas
#RuangK3
#Nelayan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar